Kamis, 08 Desember 2011

GITA

Kalau boleh aku berkata, langit di mataku selalu terlihat mendung. Bergerombol-gerombol menjadi satu dengan warna keabu-abuan bahkan kehitam-hitaman siap menumpahkan airnya. Meskipun mereka kata langit cerah sekali, dengan matahari yang membakar kulit saking teriknya, dimataku tetap terlihat ‘mendung’. Sehingga mereka berkata, “aku tak tahu apa kau ini benar-benar bodoh, atau sudah setengah gila” sambil menggelenggelengkan kepala. Itu jawaban mereka yang kenal kepadaku. Tapi coba mereka yang tak kenal padaku bereaksi saat kukata, “Aaaah, hari ini mendung benar” padahal cuaca dan keadaan padang jinglang, tentu mereka akan langsung menyahut “wah tidak waras benar anak ini” atau ucapan sehomonim atau yang paling biasa berkerut alis. Yang masih kuingat hingga saat ini aku yang sedang duduk di amben depan rumah adalah saat ayahku yang tua renta namun pemabuk, yang sudah lama kuketahui bukanlah ayah kandungku, membawaku kesini. Ibu?. Terus terang aku tak tahu siapa ibuku, itu yang kutahu dari  ayahku yang berambut gimbal kriting. “Kau?Ibumu? mungkin ibumu itu bak sampah besar di sudut terminal. Kau tahu?”, sambil cegukan ‘ihik’ “Yaaaah, tak usah jadi pikiran hal itu, tak penting” lanjutnya sebelum tidur di kasur butut diruang tamu rumahku yang dulu. Jawaban itu kudapat ketika aku berumur 5 tahun, itu pertama kali aku mengecap pendidikan taman kanak-kanak. Kulihat di hari sekolah pertamaku, teman-teman sebayaku yang rapi diantar jemput para wanita yang kutahu hari itu juga sebutannya adalah ‘Ibu’. Dan sebelum ayahku menjelaskan perkataannya yang eksplisit itu, aku sudah keburu tahu dari suara bisikan-bisikan ibu-ibu teman tk-ku hari berikutnya “Itu, tuh anak yang dipungut pak to di tempat sampah”. Yap itu tak penting siapa ibuku, karena jika tak ditemukan si pemabuk yang jadi ayahku, mungkin hari berikutnya setelah hari itu akan tampak sebuah judul artikel di koran lokal “Ditemukan mayat balita di tempat pembuangan sampah X” lalu tampak fotoku yang sudah di blur saking mengenaskannya. Judul itu bukanlah sebuah headline namun hanyalah sebuah artikel yang nyelempit, dan mungkin hanya dibaca 1: 1000 orang, karena tidak penting. Karena judul-judul seperti itu sudah kalah pamor jaman sekarang, dibandingkan berita-berita orang besar yang kedapatan mengorupsi uang rakyat “Pejabat B habiskan 1 triliun uang rakyat” yang digembar-gemborkan tanpa penyelesaian yang berarti atau tulisan-tulisan seperti ini “Tanda-tanda Orgasme pada wanita”.
Kembali lagi ke pada saat ayahku membawaku ke sini, ke sebuah lokalisasi atau kau kenal kumpulan rumah-rumah bordir atau lebih kasarnya tempat-tempat perempuan tunasusila yang kulihat hari dimana aku dijual adalah keadaan mendung. Mendung yang memulai kehidupanku, umur 7 tahun. Yang membuatku selalu berkata “Aaaah, hari ini mendung benar”.

“Git, ayo!apa yang kamu kerjakan disitu?” mak Rah menegurku dengan suara ‘I’ yang panjang pada namaku Gita “Ayo, ndang dibereskan itu ambennya. Sudah sore ini”.
Cepat-cepat aku membereskan segala buku yang berserakan di amben, yang beberapa saat lalu terabaikan oleh lamunan sejenak. Fisika, biologi dan kimia. Kelas 1 SMA.
“Angkat dengan mang agus!nanti malam kau kemana?” mak rah menghampiriku sambil mengipas-ngipaskan kertas koran ke wajahnya. Yang tak semulus wajah dian sastrowardoyo atau tamara blezynsky. Malah sedikit nyerempet tidak sebegitu ratanya dengan jalanan aspal, kadang bergeronjal atau lobang. Bisa kecil atau besar. Tapi dia mak-ku.
“Surau mak, mau mengaji” kataku. ”Haaaah..” mak rah menghela napas berat panjang ”Kau harus cepat pulang setelah ngaji, tak ada lebih dari 1 jam. Kita akan sibuk malam ini”. Tidak salah katanya, hari ini akan sibuk, hari sabtu. Jika kau lihat disini pada hari itu, kau akan melihat jalan yang dipenuhi wanita-wanita terpampang bagai makanan di etalase. Menjajakan dirinya. Muda, paruh baya, tua, setengah wanita. Lalu makanan-makanan yang terpampang itu akan dikerubuti lalat-lalat. Lalat-lalat emas pembawa uang, yang akan kembali lagi lain kali atau sering kali, jika makanan yang dimakan kebetulan enak. Kalau tidak enak? Ya cari makanan lain yang kelihatannya enak. Bukan apa-apa, disini dengan menjajakan tersebut mak rah dapat meraup pundi-pundi rupiah yang cukup banyak. Untuk membiayai anak-anaknya makan dan untuk dirinya sendiri. Dan tidak lupa suaminya yang nganggur tapi doyan berjudi. Yang lainnya juga senasib. Hidup kejam, uang yang dirampok secara tidak langsung dari pajak, subsidi yang diadaakan, tak meratanya lapangan kerja serta kesejahteraan membuat mereka jadi begini. Termakan janji-janji si pemimpin negeri.  Berjual diri. Jangan salahkan kami!, kata mereka. Kalau kami dituduh sebagai sampah masyarakat, lalu apa sebutan perampok kesejahteraan kami dan kalian?. Dilema. Ketika rakyat mulai menyeru-nyeru. Halah kalian yang tak tahu agama ngomong apa?. Apa kau kata?tak tahu agama, lalu kalian apa? Tak pernah sembahyang, selalu berebut kekuasaan, mamakan barang curian, sedikit bersedekah, selalu berdusta, menfitnah dan bergunjing. Disebut apa?. Bukankah tak lebih dari seorang munafikkah?. Dilema. Dalam hidup di jaman ini kurasakan sulitnya kucari kebenaran hakiki, yang sering kutemukan adalah kenyataan hakiki, kenyataan hidup. 
Kudapati aku menganguk dan tersenyum menatap mak-ku. Yang melengos pergi berkerut alis tapi diulasi seyum manis.

”Janganlah makan makanan yang haram, karena selama 40 hari akan mengalir darah dari makanan haram tersebut dalam tubuhmu. Yang membuat doamu pada Allah hanya berputar-putar dilangit saja, tak dikabulkan”, Ustad. ”Allah melarang makan makanan yang haram pada kita karena lebih banyak mudharatnya daripada manfaatnya.
”Emang, makanan haram itu yang gimana ustad?yang babi-babian gitu, seperti yang saya dengar dari emak?”, gadis kecil.
”Tidak hanya babi dan minuman yang memabukkan saja tapi juga setiap makanan yang didapat tidak melalui jalan yang benar, halal. Seperti mengambil yang bukan miliknya, merampok, dan uang dari berzina”, Ustad.
Ketika kukatakan itu pada emak tepat 1 bulan setelah aku dijual padanya, emak terpaku. Memandangku lekat-lekat yang saat itu masih menggunakan kerudung kedodoran bekas rani, anak emak yang pertama. Pandangan yang sulit kuartikan pada saat itu. Malu, tahu, gundah, menyesal, marah sedih aaaahhhh entahlah. Namun selanjutnya sudah diciuminya ku sayang sambil terus berkata ya ya ya serak. Dari apa yang emak selama 1 bulan ini, aku tahu bahwa di sangat menyayangi aku. Aku tak tahu mengapa. Setelah itu Aku. hanya bisa menepu-nepuk pundak emak. Seperti adegan sinetron yang pernah kulihat di tv. Esoknya sepulang sekolah emak menghitung-hitung uang di ruang tamu. Sibuk sampai tak menyadari aku yang berdiri disampingnya. Hendak mencium tangannya. Hari itu di sekolah bu guru mengharuskan pada murid-muridnya untuk mencium tangan ibu atau bapak ketika sampai rumah. Itu wujud dari sikap menghormati, berterimakasih sekaligus mohon doa beliau agar besok menjadi orang yang sukses. Kau juga begitu?. Yah emak memang bukan orang tuaku yang sebenarnya dalam tanda kutip, tapi yang ada dalam pikiranku saat itu Cuma ’harus salim’, simpel bukan.
”Mak”, kataku setelah mencium tangannya. Wanita bertubuh setengah gemuk itu memintaku memanggilnya mak hari pertama aku bertemu dengannya.
Ia mendongak sambil tersenyum tipis. ”Banyak sekali uangnya mak, untuk apa?, tanyaku.
”Uang untuk biaya sekolahmu, makanmu, segala kebutuhanmu dan untuk buka toko”, sahutnya.
”oooooo”, Cuma itu yang keluar dari mulutku.
Esoknya di depan rumah tampak emak beberes menata kue-kue basah dan chiki-chiki dalam wadah saat aku akan beragkat ke sekolah.
Dan setiap hari sejak emak menghitung uang, datang seorang pria berperawakan garang, berkumis, berjambang mengenakan celana kain hitam yang kuduga dicuci seminggu sekali dan kemeja putih. Kemeja itu dirompii kuning dengan tulisan yang saat itu sudah dapat kubaca lancar ”BPR Surakasih Hutama”, namun tak begitu kumengerti artinya. Orang tersebut selalu datang tepat pukul setengah empat dengan motor bebek tahun 98. Tas hitam ala direktur-direktur yang kulihat di tv selalu tergantung di bahunya. Sayangnya tali tas itu hampir-hampir lepas saking beratnya isi tas. Pernah aku intip isinya yang tak lebih hanya buku-buku besar, sejumlah uang dan sepasang sandal. Jika ada suara ”TARIKAN” terdengar  keras dari arah depan rumah, itu pasti dia.

Masih tetap berlanjut. Pemandangan ajaib. Itu mungkin yang terpikirkan di benak kalian saat meliat sebuah surau kecil di kawasan kami. Yang kau kata, ah, mereka kata kawasan X. Apa-apaan mereka? masih sembahyangkah? kukira sudah lupa agama. Kalau kulihat dari kacamata eksplisitku. Sesuadah aku tertawa terbahak tentunya. Maka akan kuwakili mereka menjawab, dari sudut pandangku dan kenyataan yang benar-benar terhampar bagai padi yang menguning di sawah menjelang musim panen. Ya, kami memang sudah lupa agama. Pasti. Kalau kau lihat perilaku kami, yang tak sesuai syariat. Tapi jangan kira karena kami lupa agama kami, lantas kami lupa pada Khaliq kami. Sungguh kami ingat. Padamu yang menyatakan demikian, yang TAK lupa pada agamanya. Yang jungkar-jungkir siang malam. Tapi taukah aku sebagian isi hati kalian. Ya hanya sebuah rutinitas tanpa tahu hakekat. Kosong. Melompong. Sebagian karena ”Takut neraka?”, coba tidak ada, apa jadinya. ”Jika surga dan neraka tak pernah ada, akankah kau sujud kepadaNya”, itu, lirik lagu Almarhum Chrisye tepat sekali bukan???, atau yang paling sering kulihat dari hatiku adalah agar ”Wah” jika dilihat orang, ”wah, pak anu/bu anu rajin beribadah ya?”. Lalu esok harinya saat bekerja , contoh sebagai lurah misalnya, ”Pak/bu ini ada uang perbaikan jalan desa dari kabupaten”. ”Alhamdulillah, Ya, ya, ya, terima kasih. Saya akan usahakan selesai secepatnya” sambil bersalaman pada kurir. Tak tahunya, sebagian duit tergelincir ke saku. ”Eh jeng masak ya bu ’bunga’ itu lho punya anak tapi gak ada bapaknya”---”ehhh, masak tho bu???anak haram dong”----”Yaiyalah”-----tapi ibu tahu dari mana?”. ”Alhamdulillah nemu uang nih, lumayan 10.000, wah kasihan, uang sapa ya?(tapi masuk saku). ”Aduh di depan ada orang ngemis nih” di saku ada uang 5000an, 1000an, 2000an, dan 200an. Yang diberikan akhirnya yang 200an. Khan sayang kalo dikasiin yang besar-besar. Bisa buat beli jajan tho ntinya ato,,,,beli apa yaaa?.. Inikah didikan AGAMA?.
Rahmat yang turun pada mereka, seperti hujan yang turun pada ladang bibit jagung. Menumbuhkannya si bibit yang semula biji, mulai tumbuh akar. Membasahi serabut akar. Menelesap diantara bilik-bilik kecil yang bekerja sesuai bagiannya. Menjadi rahmat bagi tumbuhan, daun, batang, besar. Tapi sayang sunggung semilyar sayang ia tak berbuah di kemudian hari. Menjadi yang mandul. Namun masih ada sebagian yang berbuah kok. Dan ketika dipanen jadi mengecewakan karena ia si jagung bopeng tak sarat isi. Sama bukan seperti ”kami”. Ini salah, salah besar, tidak kau, mereka, kami dan aku. Dalam memilih jalan. Aku yang masih kecil ini bertekat akan membawa mereka, kami, kau kearah yang lebih baik dengan izin Tuhan semesta alam kita. Yang tahu sebenar – benarnya apa yang ada dalam hati. Ke jalan yang lurus ’Shiratalmustakim’Nya. Namun aku menyadari aku tak bisa berusaha sendiri. Sendiri itu berarti mati. Aku butuh bantuan anak-anak negeri, yang prihatin kini. Semakin prihatin kini karena suatu hari aku mendengar adik-adikku dilingkunganku berkata ketika aku bertanya, begini :
Aku : Aaaaah, kau cantik sekali. Ingin jadi apa kau kelak jika besar nanti? Artis tv?kau bisa dapat uang banyak.
Gadis 1 : tidak, tidak, mengapa harus susah-susah jadi artis tv mbak. Tak jadi artis tv pun kita bisa jadi kaya.
Aku : Bagaimana caranya?
Kulihat matanya yang sebening air memancarkan harapan.
Gadis 1 : Mbak kenal mbak santi?
Gadis 2 : Wah bisa dimarahin kowe kalao manggil mbak santi, kita khan disuruh manggil dia mbak Beibi.
Aku tersenyum melihatnya
Aku : Ya, mbak kenal
Sambil mengangguk-angguk
Gadis 1 : Lha mbak aku pengennya jadi seperti dia. Cantik, punya banyak make up, banyak uang padahal Cuma diajak jalan-jalan ato masuk kamar sama bapak-bapak aja dikasih uang banyak. Aku pernah lihat. Uang seratus ribuan warna merah. Banyuaak.
Gadis 2 : Bener, bener coba liat si Mira mbak. Adiknya mbak san, eh Beibi yang endhel kuwi. Wuiiiiiiiihhhhh bajunya mbak buagus buagus, dibeliin mbaknya tuh mbak. Pernah aku sampek ngiler saking pengennya.
Aku sama sekali tak bisa menyela percakapan mereka. Mereka saling nyerocos cepat sambil sekali-sekali terkikik seru
Gadis 1 : Coba aku besok kalo besar bisa seperti mbak Beibi. Enak kali ya,,,?
Gadis 2 : Pokoknya kalo aku sudah besar aku pengen kayak mbak Beibi
Gadis 1 : He’eh
Bayangkan mereka yang bercakap ini hanya berumur 7,5 tahun. Sungguh matanya yang berbinar-binar itu memancarkan cahaya harapan yang sebegitu besarnya. Itu cahaya semanngat ombak besar laut selatan, yang dapat mengobrak-abrik pantai kalau ia mau. Mata yang sarat pengharapan tinggi atas sesuatu. Itu mata anak 7,5 tahun?. Mataku berair, sungguh bukan karena debu yang tertiup angin yang tiba-tiba datang. Bukan, tapi otak ini yang yang mengirimkan implus ke syaraf motorik kandung air mata untuk mengeluarkan airnya. Inikah pikiran kecil calon pemimpin negeri?.
Gadis 1 : Lho mbak Gita kok nangis?.
Aku : Ahhhhh, hari ini mendung benar.

*
300 meter aku harus berjalan menyusuri jalan aspal kecil dengan pemandangan etalase, tidak di kanan dan kiri. Jalan ini sudah lama kulaui, sekitar 8 tahunan lah. Sampai hapal benar aku tekstur jalan serta topografinya. Begitu, tapak ke 50 dari langkah pertama aku harus sedikit berjalan ke kanan atau melompat kalo perlu. Ada lubang got gorong-gorong yang tutupnya rusak ”krowak” besar, mungkin sebesar tampah. Meski tak lubang-lubang amat, karena besi-besi cor-coran masih malang melintang di tengahnya. Tapi cukup berbahaya karena cukup pas kaki bisa masuk kesana. Di bawahnya menanti gorong-gorong berisi air yang berwarna tak jelas antara hijau tua atau hitam. Maklum warnanya silih berganti, kalau boleh aku berkata, baunya juga silih berganti. Kapan hari, aku perhatikan, atau sedikit berinvestigasi. Hari rabu misalnya, hitam pekat warna airnya. Baunya busuk-busuk bagaimana tak jelaslah. Kalau dipikir-pikir mirip dengan air dari truk sampah yang menetes-netes ketika di jalan raya. Ya seperti itulah. Lain hari warnanya merah/hijau/kuning, baunya jangan ditanya, ini lebih parah dari bau sampah. Bau asam sangat. Orang yang baru pertama lewat pasti berkata ”Wih, kecut e. Ambu opo iki?”. Oleh karena itu, warning, lubang harus dihindari. Langkah ke tujuh puluh lima ada sebuah jembatan kecil. Jembatan yang ramai dengan kaligrafi-kaligrafi tak senonoh, penuh juga dengan bibit-bibit negri berseragam putih biru atau putih abu-abu, atau seragam-seragam sebangsanya sedang duduk-duduk menyesab rokok sambil mengepul-ngepulkan asapnya. Coba kau pikir itu uang dari mana?.jangan berpikir terlalu jauh itu uang orang tua mereka, ya orang tua mereka. Berpak-pak setiap hari. Kerja?. Tidak. Ssssttttt mereka masih berseragam. Harus kukata, jika kau lewat gerombolan seperti ini tataplah jalan di depan dengan tatapan yang selurus tongkat pramuka. Boleh dengan wajah setenang air comberan, atau disarankan sedikit melotot bibir terkatup. Atau pandangan kosong, seolah-olah kanan dan kirimu itu relief patung canti borobudur yang tak bergerak. Kecepatan minimal 10km/jam. Dalam hati setiap aku melewatinya, ”inikah calon pemimpin negri?tetapkanlah aku dan mereka pada jalan yang lurus ya Rabb”, selemah-lemahnya imanku saat itu. Dalam hati. Langkah keseratus sepuluh bersiap-siaplah menelan ludah banyak-banyak. Warung rujak cingur menanti. Selalu menelan ludah ketika aku melewatinya, kira-kra 3 tegukan sekali menoleh. Langkah ke seratus dua puluh lima, aku mengharuskan diri masuk ke sebuah gubuk kayu sederhana. Sebuah gubuk kayu reot dengan seorang lelaki tua berusia 50an, kaki buntung satu, duduk. Pandangannya berbinar. Dia orang rantau. Aku pernah 3 jam penuh duduk disampingnya, mendengarkan ia mengoceh tentang dia yang orang Banyuwangi, ingin mengadu nasib di kota besar surabaya, tanpa persiapan dengan anak perempuan dan istrinya dahulu. Ia beruntung, sebuah kontrakan, makan cukup dan menyekolahkan anak tidak jadi masalah. Meskipun hanya sebagai pelayan toko. Istrinya bekerja sebagai penjahit konveksi. Tapi itu sebelum tahun 1998. Yang tiba-tiba membalikkan semua kondisi keluarganya. Di PHK, sulinya mencari kerja. Harga bahan-bahan pokok naik. Biaya sekolah tak terjangkau. Membuat ia stres sangat. Seperti orang gila. Rasa itu membimbingnya meloncat di atas relkereta api di belakang rumahnya. Istrinya menjerit, berlari menyongsongnya, saat melihat sebuah kereta mengklakson suaminya ”teeeeeet,teeeeeeet, teeeeeeeeet”. Namun suaminya tak bergeming. Sang istri melompat mendorong sang suami. Tertabrak keterta, sedang suaminya selamat. Sengan menyisakan satu kaki. Sang anak menjerit melihat mayat sang ibu, berlari meninggalkan ayahnya. Akhir-akhir ini ia bertemu anaknya di sebuah etalase, dia cantik, katanya. Dan akhir-akhit ini pula ia mendengar anaknya hidup makmur karena menjadi wanita simpanan seorang pejabat. Ia tertawa sambil menangis. Kini hari-harinya diisi dengan berjualan keliling dengan sepeda tangannya pembersih lantai, karbol, sampo dan sejenisnya yang ia racik sendiri dari bahan-bahan kimia yang ia beli. Takarannya menurutku pas, dan tidak menimbulkan efek samping. Yang sudah diuji oleh, ehm, aku sang juara olimpiade kimia smp-sma ehm. Sama sekali tidak bermaksud pamer. Sedikit mendengarkan pengalamannya, dan nasehat-nasehat. Aku beranjak dan meneruskan langkah. Setiap aku pergi dari gubuknya, ia sibuk komat-kamit mendoakanku. Aku?mengamini. langkah ke 150, tampak didepanku sebuah surau kecil bejendela dan pintu dari kayu yang bercat hijau. Tempatku mengemis ilmu, dan bermunajat padanya. Hari ini aku tersenyum memasukinya. Ahlan wa Sahlan, kudengar suara surau itu menyambutku.
                                                                        *
 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar