Senin, 19 Desember 2011

Untukmu Kader Dakwah : Materi mentoring Mahasiswa

Created by : Indra Kusuma Aryanto dkk

Jama'ah Nurruzzaman UKMKI UNAIR
 Session 4


TAUSIYAH AL-QUR’AN
TUJUAN :
1.      Mengetahui dan memahami keutamaan membaca dan mengkaji Al-Qur’an
2.      Mengetahui dan memahami keutamaan menghafal Al-Qur’an
3.      Mengetahui ayat dan surat yang diutamakan membacanya pada waktu-waktu tertentu

PENDAHULUAN
Al-Qur’an sejak pertama kali diturunkan kepada nabi Muhammad saw sampai hari ini selalu menjadi perbincangan yang menarik baik dari orang Islam sendiri maupun dari orang lain (kafir). Al-Qur’an memuat hal-hal yang sangat lengkap mulai dari yang sangat kecil sampai hal-hal yang besar yang menjadi permasalahan hidup manusia. Tidak ada satupun bahasan kehidupan yang luput/terlewatkan dari Al-Qur’an.
Al-Qur’an telah menyihir (memikat) bangsa Arab sejak kali pertama, baik mereka yang telah Allah lapangkan dadanya untuk menerima Islam maupun orang yang Allah tutup penglihatannya. Jika kita boleh beralih sebentar kepada sekelompok kecil manusia dimana sosok Muhammad saw yang menjadi penyeru mereka menuju keimanan pada permulaan, seperti istrinya Khadijah; sahabatnya, Abu Bakar; sepupunya, Ali; budaknya Zaid, dan banyak lagi. Kita mendapati bahwa Al-Qur'an pada saat itu menjadi faktor yang amat berpengaruh atau menjadi salah satu faktor yang berpengaruh dalam membina keimanan orang-orang pertama yang memeluk Islam pada masa-masa pertama dakwah Rasulullah saw. Di mana pada saat itu, Nabi Muhammad saw belum memiliki daya dan upaya. Dan, di mana pada saat Islam belum memiliki kekuatan dan daya tahan.
Kisah berimannya Umar Ibnul Khathab dan pengambilan kekusaan Al-Walid Ibnul Mughirah adalah contoh dari kisah-kisah keimanan. Keduanya mengungkapkan adanya daya magis Al-Qur'an yang telah mengikat bangsa Arab sejak kali pertama dan mengungkapkan dalam arah yang berbeda-tentang kehebatan daya magis ini yang sama-sama diakui, baik oleh kaum beriman maupun orang-orang kafir.
Kisah berimannya Umar banyak riwayat yang menceritakannya. Salah satunya adalah berasal dari Atha dan Nujahid yang dikutip oleh Ibnu Ishaq dan Abdullah bin Abi Najih yang mengisahkan bahwa Umar r.a. berkata,
"Aku dulunya amat menjauhi Islam. Aku suka mabuk-mabukan ketika jahiliyah. Kami mempunyai sebuah majelis tempat berkumpul kaum pria bangsa Quraisy. Suatu saat aku hendak berkumpul dengan teman-temanku di sana, namun tidak seorang pun berada di sana. Maka aku berkata, 'Mungkin aku harus menemui si Fulan penjual khamar!' Maka aku pun segera bergegas untuk menemuinya, tapi aku tidak mendapatinya. Lalu aku berujar kembali, 'Mungkin aku harus ke Ka'bah untuk melakukan thawaf di sana sebanyak 7 atau 70 kali!' Maka aku pun datang ke masjid untuk melakukan thawaf di Ka'bah, ternyata di sana ada Rasulullah saw.sedang berdiri melakukan shalat. Saat itu, ia shalat menghadap ke negeri Syam (Masjidil Aqsha) dan menjadikan Ka'bah diantara dirinya dan negeri Syam. Beliau pun berdiri di antara rukun (tiang Ka'bah) rukun Aswad dan rukun Yamani. Aku berkata saat aku melihatnya,'Demi Allah, kalau saja nanti malam aku mendengar apa yang akan dibaca oleh Muhammad! Dan terbesit dalam hatiku kalau aku sudah mendekat ke arah Muhammad dan mendengarkan apa yang ia baca pasti ia akan aku kagetkan.' Aku pun menghampirinya dari balik al-Hajar (Hajar Aswad), aku pun masuk dari balik kain Ka'bah. Tidak ada jarak di antara diriku dengan Muhammad kecuali dibatasi oleh kain Ka'bah saja. Saat aku mendengar Al-Qur'an maka luluh hatiku sehingga membuat aku menangis. Sejak itu aku masuk Islam"
Subhanallah begitu mulianya Al-Qur’an, ia pemisah antara yang haq dan yang batil. Tidaklah seorang yang sombong meninggalkannya kecuali Allah swt mematahkannya. Barangsiapa mencari petunjuk selain Al-Qur’an, maka Allah swt menyesatkannya.
Barangsiapa yang berkata berdasarkan Al-Qur’an, maka dia berkata benar. Barangsiapa mengamalkannya, maka dia pasti akan mendapatkan pahala yang berlipat dan tidak disangka-sangka. Barangsiapa memutuskan perkara dengannya, maka dia telah berlaku adil dan barangsiapa menyeru kepadanya, maka dia akan diberi petunjuk menuju jalan yang lurus.
Allah swt telah mengemukakan dalam Al-Qur’an berbagai nasihat dan perumpamaan, adab dan hukum serta sejarah tentang orang-orang yang terdahulu dan yang kemudian. Di samping itu, Allah swt juga menyuruh kita untuk memperhatikan dan mengamalkan adab-adabnya.
PEMBAHASAN
Keutamaan Al-Qur’an
            Al-Qur’an Al-Karim adalah sebuah system yang komprehensif, mencakup seluruh hukum-hukum Islam. Ia adalah mata air yang terus menerus menyirami hati-hati yang beriman dengan kebajikan dan hikmah. Al-Qur’an adalh media yang paling utama untuk mendekatkan diri kepada Allah, bagi siapa saja yang ahli beribadah.
 “Sesungguhnya orang-orang yang selalu membaca kitab Allah swt dan mendirikan sembahyang dan menafkahkan sebagian dari rizki yang Kami anugerahkan kepada mereka dengaan diam-diam dan terang-terangan, mereka itu mengharapkan perniagaan  yang tidak akan merugi. Agar Allah swt menyempurnakan kepada mereka pahala mereka dan menambah kepada mereka dari anugerah-Nya. Sesungguhnya Allah swt Maha Pengampun lagi Maha Mensyukuri.” (QS Fathir 35:29-30)
Dalam hadits Ibn Mas’ud, Nabi saw. bersabda ,
Sesungguhnya Al-Qur’an adalah hidangan dari Allah, maka penuhi hidangan Allah semampu kalian. Al-Qur’an adalah tali Allah, cahaya yang terang, obat penawar yang bermanfaat. Ia dapat menjadi perisai bagi siapa saja yang berpegang teguh padanya dan jalan keselamatan bagi siapa saja yang mengikutinya. Siapapun tidak akan menyimpang, karena Al-Qur’an akan senantiasameluruskan. Keajaiban Al-Qur’an tidak akan pernah surut. Kemuliaan dan kelezatannya tidak akan pernah lenyap, kendati sering diulang. Bacalah Al-Qur’an, karena sesungguhnya Allah akan memberi pahala kepadamu karena bacaan itu untuk setiap hurufnya sepuluh kebajikan. Aku tidak mengatakan alif lam mim itu satu huruf, tetapi alif satu huruf, lam satu huruf, dan mim satu huruf.” (HR.Hakim)

Dalam wasiat Rabul kepada Abu Dzar r.a., beliau bersabda,
Kamu harus membaca Al-Qur’an, karena ia akan menjadi cahaya bagimu di bumi dan menjadi deposito (pahala) di langit.” (HR.Ibn Hibban).

Dari Usman bin Affan ra, katanya: Rasulullah saw bersabda:
Sebaik-baik kamu ialah orang yang belajar Al-Qur’an dan mengajarkannya.” (Riwayat Abu Abdillah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim Al-Bukhari dalam shahihnya)
Siti Aisyah r.a. meriwayatkan, bahwa baginda Rasul bersabda,
Orang yang mahir membaca Al-Qur’an akan bersama para malaikat yang mulia lagi taat. Dan barangsiapa membaca Al-Qur’an sementara ia terbata-bata (ada kesulitan dalam membacanya), maka baginya dua pahala.” (HR.Bukhari dan Muslim)
            Sungguh Rasulullah saw. benar-benar menekankan kepada manusia untuk lebih intens dalam berinteraksi dengan Al-Qur’an. Malah, baginda membuat standar keunggulan di kalangan manusia berdasarkan kedudukan mereka dengan Al-Qur’an. Saking urgennya, beliau bahkan merekomendasikan kepada orang yang tidak mampu membaca Al-Qur’an agar mau mendengarkan, menyimak, dan memahaminya. Dengan demikian, tidak ada yang terputus berkah dari intensitas jalinan ruhiyah dengan kitabullah tabaraka wa ta’ala.
Abu Hurairah r.a. meriwayatkan, bahwa baginda Rasul bersabda,
Barang siapa menyimak satu ayat dari Kitabullah, maka baginya dituliskan kebajikan yang berlipat ganda. Barang siapa yang membacanya, maka baginya cahaya pada hari Kiamat.” (HR.Ahmad)
Perintah memelihara Al-Qur’an dan peringatan agar tidak melupakannya.
Diriwayatkan dari Abu Musa Al-Asy’ari ra dari Nabi saw, baginda bersabda:
Peliharalah Al-Qur’an ini. Demi Tuhan yang nyawa Muhammad berada di tangan-Nya, sungguh dia lebih mudah lepas dari unta dalam ikatannya.(Riwayat Bukhari & Muslim)
Diriwayatkan dari Ibnu Umar ra bahwa Rasulullah saw bersabda:
“Sesungguhnya perumpamaan penghafaz Al-Qur’an adalah seperti unta yang terikat. Jika dia memperhatikan unta itu, dia bisa menahannya. Dan jika dilepaskan, ia akan pergi.”(Riwayat Bukhari & Muslim).
Diriwayatkan dari Sa’ad bin Ubadah dari Nabi saw, banginda bersabda:
Barangsiapa membaca Al-Qur’an, kemudian melupakannya, dia berjumpa dengan Allah Azza wa Jalla pada hari kiamat dalam keadaan sedih yang amat.”(Riwayat Abu Dawud dan Ad-Darimi)
Dari Buraidah ia berkata: Rasulullah SAW bersabda: “Siapa yang membaca Al Quran, mempelajarinya dan mengamalkannya, maka dipakaikan mahkota dari cahaya pada hari Kiamat, cahayanya seperti cahaya matahari, kedua orang tuanya dipakaikan dua jubah (kemuliaan), yang tidak pernah didapatkan di dunia, keduanya bertanya: mengapa kami dipakaikan jubah ini: dijawab: “karena kalian berdua memerintahkan anak kalian untuk mempelajari Al Quran” [HR. Al Hakim]
Beberapa Surat yang disunnahkan memperbanyak membacanya
1.      Ma’qil ibn Yasar r.a. meriwayatkan, bahwa baginda Rasul bersabda
“Jantung Al-Qur’an adalah Yasin. Tidaklah seorang membacanya dengan mengharap Allah dan hari akhirat, melainkan Allah mengampuni dosanya. Oleh karena itu, bacakanlah Yasin kepada orang-orang yang menjelang kematian di kalangan kalian.” (HR. Ahmad, Abu Daud, An-Nasai, dan lainnya)
2.      Abdullah ibn Mas’ud r.a. meriwayatkan, baginda bersabda,
Barangsiapa membaca: Tabarakalladzi biyadihil Mulku…setiap malam Allah akan mencegahnya dari siksa kubur.” Ibn Mas’ud menuturkan, “Pada zaman baginda Rasul, kami menamainya surat Al-Mani’ah (yang mencegah).
3.      Abu Hurairah meriwayatkan, bahwa Rasulullah saw, bersabda
“Barang siapa membaca surat Hamim dan surat Ad-Dukhan pada malam hari, maka pagi harinya tujuh puluh ribu malaikat akan memohonkan ampun baginya.” (HR.At-Tirmidzi dan Al-Ashfahani).
4.      Dalam hadits Abu Sa’id Al-Khudri r.a., baginda Rasul bersabda,
“Barangsiapa membaca surat Al-Kahfi pada hari Jumat, (Allah) akan menerangi baginya dengan cahaya dalam rentang waktu antara dua Jumat.” (HR.An-Nasai dan Al-Baihaqi secara marfu’).
5.      Ibn Abbas r.a. meriwayatkan, bahwa baginda Rasul bersabda,
“Barangsiapa membaca surat yang di dalamnya disebutkan keluarga Imran (Ali Imran) pada hari Jumat, maka Allah dan Malaikat-Nya akan mendo’akan kesentausaan (bershalawat) baginya hinggá matahari terbenam.” (HR.Ath-Thabarani dalam Al-Aushat dan Al-Kabir)
6.      Terdapat banyak atsar yang diriwayatkan secara marfu’ dan mauquf dari Abdullah ibn Mas’ud r.a. tentang keutamaan surat Waqi’ah. Terlebih di dalamnya memuat peristiwa kebangkitan dan pemberian pahala berikut dalilnya yang tidak meninggalkan satu celah keraguan pun bagi siapa saja yang hendak mengkritisinya.
KESIMPULAN :
Al-Qur’an adalah tali Allah Yang teguh dan dzikir yang bijaksana serta jalan yang lurus. Dengan tuntuan Al-Qur’an, kita tidak akan menyimpang, lidah orang-orang yang lemah tidak menjadi tumpul dan para ulama tidak merasa kenyang untuk menimba ilmu-ilmu langit darinya. Al-Qur’an tidak menjadi usang meskipun diulang-ulang, keajaibannya tidak pernah habis. Begitu hebatnya Al-Qur’an sampai-sampai bangsa jin ketika mendengarnya mengatakan, “Sesungguhnya kami telah mendengar Al-Qur’an yang menakjubkan, yang memberi petunjuk ke jalan yang benar, kemudian kami beriman kepadanya.”. Maka dari itu, selalu bersemangatlah untuk menambah tilawah Al Quran kalian sepanjang hari serta mentadabburi maknanya.
Maroji’:
1.      Al Banna, Hasan. 2008. Munajat Cinta (Agar Allah Selalu Bersama Kita). Bandung: Fitrah Rabbani
2.      Muhyiddin, Abu Zakariya Yahya. 2004. Adab Belajar, Mengajar, Membaca Dan Menghafal Al-Qur’an. Jakarta: PT.Prestasi Pustakarya



SEBERAPA PENTING MENUNTUT ILMU ??

TUJUAN :
1. Memahami tentang pentingnya menuntut ilmu
2. Memberikan pengetahuan tentang sejarah ilmu dalam Islam
3. Memberikan semangat dalam menuntut ilmu
 
PENDAHULUAN
            Islam begitu menaruh perhatiannya terhadap ilmu pengetahuan, segaa ilmu tidak hanya ilmu agama. Ilmu itu harus didahulukan atas amal, karena ilmu merupakan petunjuk dan  pemberi arah amal yang akan dilakukan. Dalam hadits Mu'adz disebutkan, "ilmu, itu pemimpin, dan amal adalah pengikutnya."
            Sesungguhnya ilmu  pengetahuan  mesti  didahulukan  atas  amal perbuatan,  karena  ilmu  pengetahuanlah yang mampu membedakan antara yang haq dan yang bathil dalam keyakinan umat  manusia; antara  yang  benar  dan yang salah di dalam perkataan mereka; antara perbuatan-perbuatan yang  disunatkan  dan  yang  bid'ah dalam  ibadah; antara yang benar dan yang tidak benar di dalam melakukan muamalah juga antara tindakan yang  halal  dan  tindakan yang  haram.
 
PEMBAHASAN
Keutamaan Ilmu dan orang berilmu dalam Islam
            Dalam Al qur’an pembicaraan tentang keharusan menuntut ilmu, keunggulan orang berilmu disebutkan dalam beberapa ayat berikut :
_ QS. Muhammad (47) : 19 : 
“Maka ketahuilah / pelajarilah / ilmuilah bahwa tidak ada Tuhan selain Allah …”
_ QS. Al ‘Alaq (96) : 1-5 : 
“Bacalah dengan nama tuhanmu yang telah menciptakanmu. Yang menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah dengan mengagungkan nama tuhanmu yang mulia. Yang mengajarkan manusia melalui perantaraan pena. Yang mengajarkan manusia apa-apa yang tidak diketahuinya.”
_ QS. Al Israa (17) : 36 : 
“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya …”
_ QS. Az Zumar (39) : 
“Adakah sama orang yang berilmu dengan orang yang tak berilmu”
_ QS. Al Mujadalah (58) : 11 : 
“Allah meninggikan orang beriman diantara kalian dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat…”
_ QS. Al Hajj (22): 54) : 
“Dan agar-agar orang-orang yang telah diberi ilmu meyakini bahwasannya Al Qur’an itulah yang hak dari tuhanmu lalu mereka beriman dan tunduk hati mereka …”
 
Urgensi ilmu dalam kehidupan :
Urgensi Ilmu dapat dilihat dari beberapa kisah berikut : 
1.      Kisah Dzulkarnain dalam surat Al Kahfi yang menguasai Ilmu Pengolahan Logam (QS. 18 :83-100)
2.      Kisah Nabi Yusuf yang menguasai Ilmu Mengatur Kekayaan Negara (QS. 12)
3.      Kisah Ilmuwan muslim dari masa keemasan Islam 
Para Imuwan di Masa Kejayaan Islam
            Ketika kekhalifahan Islam berkuasa, ilmu pengetahuan maju dengan begitu pesatnya. Bahkan kemajuan yang dicapai oleh generasi Islam pada masa tersebut mampu mengalahkan Eropa yang saat itu masih tercekam ketakutan dan kegelapan. Para pemimpin dan ulama pada masa itu begitu pedulinya terhadap ilmu pengetahuan, mereka tidak membedakan antara ilmu agama dan ilmu dunia. Sebagai contoh dapat kita lihat bahwa ahli sejarah di masa itu ternyata juga menguasai hadits dan ilmu lainnya.
Berikut ini beberapa pakar ilmu pada saat itu :
1.      Ibnu Sina
Beliau telah menguasai berbagi ilmu pengetahuan sejak berusia 18 tahun. Khususnya ilmu agama seperti : tafsir, fiqih, perbandingan agama dan tasawuf kemudian ilmu lainnya seperti ilmu hukum, logika, matematika, politik, fisika, kedokteran dan filsafat. Ibnu Sina juga merupakan dokter pertama yang menemukan system peredaran darah dan dokter pertama yang melekukan opersai terhadap tumor ganas. Buku yang beliau karang dicetak berkali-kali selama 600 tahun untuk menjadi pelajaran dasar di seluruh universitas di Barat yaitu Al Qanun Fit-Thib (Canon Medicine). Beliau juga mendapat gelar “Father of Doctor” dan “Zenith” yang berarti puncak tertinggi dalam ilmu kedokteran. 
2.      Ibnu Rusdy
Beliau adalah seorang dokter, ahli matematika sekaligus ahli hukum. Beliau adalah dokter pertama yang menemukan cara penularan bibit penyakit selanjutnya menganjurkan pemakaian sabun dan pentingnya berolahraga bagi kesehatan badan. Salah satu karyanya yang diterjemahkan ke dalam bahasa inggris adalah “General Rules of Medicine” (tata cara pengobatan)
3.      Al Kindi
Barat memberinya nama Al Kindus. Karya Al Kindi lebih banyak menyoroti masalah logika dan matematika. Beberapa karyanya dalam bidang filsafat atau logika yaitu Risalah Fi Madkhal Almantiq bi Istifa Al Qawlfihi (merupakan pengentar lengkap logika).
4.      Al Mawardi
Baliau adalah bapak pemikir politik Islam. Sebagai seorang penasehat politik, AL Mawardi diakui secara universal sebagai salah satu ahli hukum terbesar pada jamannya. Bukunya yang terkenal berjudul Al Ahkaam Al Sulthoniyah (Hukum-hukum Kekuasaan)
5.      Ibnu Khaldun
Beliau diakui sebagai peletak dasar sosiologi dan pengarang terkemuka mengenai ekonomi politik. Selain itu beliau juga dikenal sebagai seorang ahli sejarah. 
            Ilmuwan di atas hanya merupakan sebagian kecil dari ilmuwan-ilmuwan muslim yang luar biasa besar sumbangsihnya terhadap kemajuan dunia saat ini. Namun sayang sekali, sejarah emas tersebut sengaja dihapus atau disamarkan oleh kaum kafir lewat mekanisme penghancuran kitab-kitab saat penaklukan Konstantinopel. Ketika pasukan kafir berhasil mengambil alih Kota Konstatinopel yang saat itu merupakan pusat ilmu pengetahuan, dengan sengaja mereka membakar sebagian kitab-kitab dalam perpustakaan, sebagian lainnya menghanyutkannya di sungai. Begitu banyaknya kitab yang ditenggelamkan hingga warna air sungai tersebut menjadi hitam karena lunturnya tinta dari kitab-kitab tersebut.
            Usaha mereka tidak berhenti di situ saja, mereka membawa lari sebagian besar kitab-kitab karya ilmuwan Islam dan membawanya ke Eropa. Kemudian mengaburkan sejarah bahwa pengarang kitab-kitab tersebut seolah-olah adalah orang Eropa, mereka mengubah nama-nama ilmuwan Islam seperti Ibnu Sina menjadi Avecina dan Ibnu Rusdy menjadi Averroes.
 
Ilmu Merupakan Syarat Bagi Semua Profesi Kepemimpinan
            Ilmu pengetahuan merupakan syarat bagi semua profesi kepemimpinan, baik dalam bidang politik maupun administrasi. Sebagaimana yang dilakukan oleh Yusuf as ketika berkata kepada Raja Mesir:
" ... sesungguhnya kamu (mulai) hari ini menjadi seorang yang berkedudukan tinggi lagi dipercaya pada sisi kami." Berkata Yusuf: "Jadikanlah aku bendaharawan negara (Mesir), sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga, lagi berpengetahuan." (Yusuf: 54-55)
            Yusuf as menunjukkan keahliannya dalam pekerjaan besar yang ditawarkan kepadanya, yang mencakup pengurusan keuangan, ekonomi, perancangan, pertanian, dan logistik pada waktu  itu. 
            Selain itu ilmu juga dijadikan sebagai pedoman dalam dunia militer; sebagaimana difirmankan oleh Allah SWT ketika memberikan alasan bagi pemilihan Thalut sebagai raja atas bani Israil:
"... Nabi (mereka) berkata, "Sesungguhnya Allah telah memilihnya menjadi rajamu dan menganugerahinya ilmu pengetahuan yang luas dan tubuh yang perkasa..."  (Al-Baqarah: 247)
Dalam QS. Al Ankabut : 43, bahwasanya Allah SWT menjelaskan tentang perumpamaan-perumpamaan yang hanya dapat dipahami oleh orang-orang yang berfikir/berilmu. Oleh karena itu, begitu besar keutamaan orang-orang yang berilmu. Menjadi orang-orang yang berilmu tentunya tidak akan lepas dari ikhtiar berupa belajar.
KESIMPULAN
Dalam QS. Al Mujadilah : 11 “Hai orang-orang beriman apabila kamu dikatakan kepadamu: "Berlapang-lapanglah dalam majlis", maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan: "Berdirilah kamu", maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan “
Begitu besar kedudukan orang yang memiliki ilmu, bahkan satu derajat lebih tinggi dibandingkan “abid” orang ahli ibadah. Sebagai seorang muslim tentunya kita akan semakin terpacu untuk menuntut ilmu dengan perintah yang Allah firmankan tersebut. Apapun jalur pendidikan kita, baik eksakta maupun sosial pastilah masing-masing ilmu tersebut akan memberikan manfaat yang sangat besar di bidang masing-masing.
Menjadi seorang muslim yang paham ilmu agama dan pakar juga dalam bidang ilmu umumnya tentunya juga akan bisa mengarahkan umat untuk menjadi lebih cerdas dan bermoral. Excellence with morality akan benar-benar terwujud jika kita memulainya sungguh-sungguh dari diri kita pribadi.
Mari bersama kita raih kembali kejayaan Islam dengan meneladani para ilmuwan Islam di masa lampau. Bukan tidak mungkin akan lahir Ibnu Sina dan Al Mawardi baru di tengah-tengah kita, atau bahkan adalah kita sendiri. Indonesia sekarang membutuhkan SDM yang tidak hanya pintar dalam bidang ilmu umum namun sangat-sangat membutuhkan SDM yang pakar dalam bidang ilmu umum dan paham juga dengan ilmu agama. Karena adalah tugas mahasiswa menjadi agent of change, iron stock dan moral force, Indonesia lebih baik??. Kuncinya ada pada seberapa sungguh-sungguh kita menguasai bidang ilmu kita sekarang. Kalian siap????

UJI CARA BELAJAR KALIAN……..
Bagian pertama :
1. Apakah kalian mempunyai tempat khusus untuk belajar? (Y/N)
2. Apakah kalian membaca pelajaran sekaligus kemudian mengulanginya secara rinci? (Y/N)
3. Sebelum membaca semua pelajaran, apakah kalian memperhatikan point-point penting? (Y/N)
4. Ketika dihadapkan pada kata yang sulit, apakah kalian berusaha untuk mengetahuinya lewat kamus atau bertanya pada orang lain? (Y/N)
5.  Apakah catatan materi kalian teratur dan lengkap? (Y/N)
6. Ketika ingat tugas yang harus dikerjakan, apakah kalian langsung mengerjakannya? (Y/N)
7. Apakah kalian melakukan evaluasi dari waktu ke waktu untuk mengetahui sejauh mana kemajuan / kemunduran kalian? (Y/N)
8. Apakah kalian menggunakan pengetahuan yang dimiliki untuk memahami materi lainnya? (Y/N)
9. Apakah kalian terbiasa mempelajari materi dari waktu ke waktu? (Y/N)
10. Apakah setiap hari kalian mengatur jadwal dengan baik? (Y/N)
Bagian kedua :
1. Apakah di tempat kalian belajar ada sesuatu yang menyibukkan kalian dari belajar? (Y/N)
2. Apakah kalian sering bergadang setiap kali mendekati ujian? (Y/N)


KUNCI :
Hitunglah jawaban “Ya” dari pertanyaan bagian pertama lalu dikurangi dengan jawaban “Ya” pada pertanyaan bagian kedua. Jika hasilnya kurang dari 8 maka anda harus memperbaiki cara belajar anda.

Maroji’ :
1.      Al Qardhawy, Yusuf, Dr. 1996. Fiqh Prioritas. Jakarta : Robbani Press
2.      Rifameutia, Tjut. 2002. Makalah belajar “Bagaimana Caranya Belajar”, dalam buku pembinaan mentoring SALAM UI
3.      Wahyudin, Udin. 2003. Integrasi Budi Pekerti dalam PAI. Bandung : Bina Siswa
4.      Sirah Tokoh Islam. 2004. Bunga Rampai Edisi Keempat
5.      Seri keempat buku Mentoring Islam Elektronik.    http://itc.esmartstudent.com/buku_mentoring_islam_elektronik_4.pdf
 
SIAP BERAKSI UNTUK ALLAH SWT

TUJUAN :
1.      Mengetahui alasan melakukan amal nyata bagi seorang muslim
2.      Mengetahui tujuan amal nyata bagi seorang muslim
 
PENDAHULUAN
            Risalah ini ditujukan kepada orang-orang Mukmin yang jujur, yang mengetahui jalan yang benar dan menetapinya. Namun karena banyak sebab mereka tidak melaksanakannya. Mereka berdiam diri di tempatnya, tidak maju, seakan-akan lupa makna-makna mulia, sehingga tidak beramal demi makna itu.
            Mereka adalah pemuda-pemudi yang shaleh, yang masih berpegang pada jalan keutamaan dan kebaikan. Namun mereka terkalahkan oleh kamapanan dan kemalasan, cinta dunia dan panjang angan-angan. Mereka ingin menjadi orang shaleh tanpa beramal dan tanpa capek. Tapi apakah mungkin? Tidakkah mereka tahu bahwa “dunia adalah manis dan hijau. Allah menjadikanmu khalifah di dunia, dan melihat bagaimana kalian beramal.” (Abu Dawud, Ibnu Majah, Thabrani). Apakah mereka tidak butuh derajat-derajat yang tinggi di surga yang tidak dicapai oleh selain para Nabi, serta teman-teman mereka di kalangan orang-orang shaleh, shiddiq, dan syuhada?
 
PEMBAHASAN
Minimnya Waktu yang Disediakan untuk Beramal 
            Riwayat hidup Imam Nawawi rahimahullah merupakan riwayat hidup yang harum dan besar, yang layak merepresentasikan kondisi kaum salaf dalam hal mengelola waktu untuk berbuat shaleh, mengurangi makanan, minuman, bekerja dan tidur, sehingga mereka memiliki banyak waktu yang dapat digunakan untuk berbuat taat kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala.
            Ketika Imam Nawawi rahimahullah pindah dari kampung kelahirannya, Nawa, ke Damaskus, ia bertambah giat mempergunakan waktunya hingga selama 2 tahun penuh ia tidak merebahkan badannya ke bumi, melainkan tidur bersandar pada bukunya, selalu sibuk belajar, memperbanyak ibadah seperti shalat malam, puasa setahun penuh, disertai sifat zuhud dan wara'. Bahkan berpegang teguh pada sifat wara' secara ketat dan tidak pernah menyia-nyiakan waktu. Setiap hari ia mempelajari 12 mata pelajaran dari gurunya. Ia menjadi panutan dalam hal kesungguhan mencari ilmu siang dan malam, tidak tidur kecuali tertidur dan selalu menjaga waktunya.
            Ia pernah berkata, “Apabila kantuk mengalahkan diriku maka aku bersandar pada buku sebentar lalu aku terbangun.” Salah seorang temannya datang dengan membawa makanan yang masih ada kulitnya, namun ia tidak bersedia memakannya. Ia berkata, “Saya khawatir tubuhku lembab sehingga aku tertidur.” Dalam sehari semalam ia tidak makan kecuali sekali setelah waktu akhir Isya' dan tidak minum kecuali sekali pada waktu sahur. 
            Ia makan roti yang dibawakan oleh ayahnya dari negeri Nawa yang dibuat sendiri dan cukup untuk persediaan selama satu minggu. Ia juga tidak pernah memakan kecuali satu macam makanan seperti madu, cuka, atau minyak. Sedangkan daging, Imam Nawawi memakannya sekali dalam sebulan, dan hampir tidak pernah ia memakan makanan dengan dua lauk selama hidupnya. 
            Secara garis besar Imam Nawawi adalah seorang yang jauh dari kemewahan dan bersenang-senang, serta memiliki sifat takwa, qana'ah, wara', selalu muraqabah kepada Allah di waktu sendiri atau ramai, meninggalkan hawa nafsu, sedikit tertawa, jarang bermain bahkan selalu menghindarinya, selalu berkata benar sekalipun itu pahit, tidak takut terhadap celaan orang yang mencela jalan Allah. 
            Tidakkah kamu lihat bagaimana orang-orang shaleh memanfaatkan waktunya, bahkan berkejaran dengan waktu. Semua itu tidak lain karena mereka mengetahui betul nilai dan singkatnya waktu, sehingga mereka memanfaatkannya sebaik mungkin.
            Memang benar jika dikatakan Islam itu adalah agama yang mencakup segala aspek; bekerja adalah ibadah, tidur dengan niat shaleh menjadi ibadah. Pendapat ini benar, namun disini yang lebih ditekankan adalah sedikitnya waktu yang tersisa – setelah memenuhi kebutuhan manusia berupa kerja dan tidur – untuk berlomba dalam mencapai derajat yang tinggi. Niat ibadah memang banyak dilakukan oleh mayoritas orang Muslim, tapi pemanfaatan waktu yang benar terkadang masih dilupakan.
 
Besarnya Perbedaan Derajat di Dalam Surga
            Sesungguhnya Allah SWT telah menjanjikan surga kepada orang-orang yang taat. Namun Allah memasukkan mereka ke surga semata-mata dengan rahmat dan fadhilah, bukan atas dasar hak seorang hamba sebagaimana yang diketahui.
            Tetapi keadilan Ilahi menentukan bahwa orang yang mencurahkan segala tenaga dan kemampuannya untuk taat kepada Tuhannya serta selalu berusaha menegakkan agama-Nya itu tidak sama dengan orang yang melalaikan semua itu. Begitu juga tidak sama orang yang banyak mencurahkan harta dan tenaganya, dengan orang yang hanya sedikit mencurahkan tenaga dan hartanya. Begitulah seterusnya. Manakala keadilan Ilahi telah menakdirkan perbedaan maka Allah pun menyediakan untuk hamba-hambanya surga yang berbeda-beda tingkatannya, dan Allah memerintahkan hamba-hamba-Nya agar mencari derajat yang tinggi. Allah berfirman,
Sesungguhnya orang yang berbakti itu benar-benar berada dalam kenikmatan yang besar (surga). Mereka (duduk) di atas dipan-dipan sambil memandang. Kamu dapat mengetahui dari wajah mereka kesenangan hidup yang penuh kenikmatan. Mereka diberi minum dari perasan anggur murni yang masih tertutup rapat. Sedang tutupnya dari kesturi yang amat harum dan untuk yang demikian itu hendaknya orang berlomba-lomba.” (QS. Al-Muthaffifin: 22-26)
Allah juga berfirman,
Dan orang-orang yang paling dahulu beriman, merekalah yang paling dulu (masuk surga). Mereka itulah orang yang didekatkan (kepada Allah). Berada dalam surga kenikmatan. Segolongan besar dari orang-orang yang terdahulu. Dan segolongan kecil dari orang-orang yang kemudian. Mereka berada di atas dipan yang bertahtakan emas dan permata. Seraya bertelekan di atasnya berhadap-hadapan. Mereka dikelilingi oleh anak-anak muda yang tetap muda. Dengan membawa gelas, cerek dan sloki (piala) berisi minuman yang diambil dari air yang mengalir. Mereka tidak pening karenanya dan tidak pula mabuk. Dan buah-buahan dari apa yang mereka pilih. Dan daging burung dari apa yang mereka inginkan. Dan (di dalam surga itu) ada bidadari-bidadari yang bermata jeli. Laksana mutiara yang tersimpan baik. Sebagai balasan bagi apa yang telah mereka kerjakan. Mereka tidak mendengar di dalamnya perkataan yang sia-sia dan tidak pula perkataan yang menimbulkan dosa. Kecuali ucapan salam.” (QS. Al-Waqi'ah : 10-26)
            Begitu juga di dalam surah ar-Rahman dan surah lainnya. Allah menyeru hamba-hamba-Nya untuk saling berlomba mencapai derajat yang tinggi.
            Cukuplah kita tahu bahwa Allah menjelaskan tingkatan para shahabat itu tidaklah sama. Mereka saling berlomba. Lalu bagaimana dengan kita. Allah berfirman,
“.... Tidak sama di antara kamu orang yang menafkahkan (hartanya) dan berperang sebelum penaklukan (Makkah). Mereka lebih tinggi derajatnya daripada orang-orang yang menafkahkan (hartanya) dan berperang sesudah itu. Allah menjanjikan kepada masing-masing mereka (balasan) yang lebih baik. Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.”(QS. Al-Hadid : 10).
            Rasulullah shallalahu 'alaihi wa sallam menyampaikan di dalam beberapa hadits derajat yang tinggi. Beliau menyeru umatnya kepada derajat tersebut, serta menerangkan betapa besar keberuntungan orang yang mendapatkannya. Nabi bersabda :
Sesungguhnya surga itu mempunyai beberapa kamar. Ruangan luarnya dapat dilihat dari dalam, begitu juga ruang dalamnya dapat dilihat dari luar.” Kemudian seorang 'Arabi berdiri seraya bertanya : “Wahai Rasulullah, untuk siapakah kamar-kamar itu?” Kemudian Rasul menjawab : “Untuk orang yang selalu berkata baik, suka memberi makan orang lain, membiasakan puasa dan suka melakukan shalat malam sewaktu manusia sedang terlelap.” (Imam Nawawi dan Tirmidzi)
 
 
Tujuan Beramal Dalam Islam
            Amal adalah buah ilmu, karena itu dikatakan dalam pepatah, "Ilmu tanpa amal sama dengan pohon tanpa buah atau awan tanpa hujan." Amal juga merupakan buah keimanan yang benar, karena tidak mungkin ada keimanan tanpa amal. Meskipun para ulama berbeda pendapat tentang dimasukkannya amal sebagai bagian dan hakikat iman atau syarat sahnya iman atau buah dari iman, adalah merupakan sesuatu yang tidak diragukan bahwa keimanan yang benar (hakiki) itu harus membuahkan amal. Oleh karena Al Qur'an mengumpulkan antara iman dan amal dalam berpuluh-puluh dan ayatnya, karena itu ulama salaf berkata, "Iman adalah sesuatu yang meresap dalam hati dan dibuktikan dengan amal."
            Amal yang dituntut di sini adalah mencurahkan segala upaya yang positif untuk merealisasikan tujuan-tujuan syar'i terhadap manusia di atas bumi ini. Tujuan-tujuan itu, sebagaimana diisyaratkan oleh Al Qur'an dikumpulkan dalam tiga hal, sebagaimana disebutkan oleh Imam Ar-Raghib Al Ashfahani dalam kitabnya, "Adz-Dzarii'ah ilaa Makaarimisy-Syarii'ah," yaitu sebagai berikut:
1.     Ibadah
Sebagaimana firman Allah SWT:
"Dan tidaklah Aku menciptakan Jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku." (Adz-Dzaariyaat: 56) 
2.     Khilafah
Sebagaimana firman Allah SWT:
"Sesungguhnya Aku akan menciptakan di bumi seseorang khalifah (Al Baqarah: 30)
3.     'Imaarah (memakmurkan bumi)
Sebagaimana firman Allah SWT
"Dialah (Allah) yang menciptakan kamu dari tanah dan menjadikan kamu pemakmurnya..." (Hud: 61)
            Tiga hal tersebut saling terkait antara satu dengan yang lainnya. 'Imaarah (memakmurkan) ketika dilaksanakan dengan niat ikhlas, maka akan bernilai ibadah sekaligus melaksanakan tugas khilafah. Sedangkan ibadah dalam arti yang luas meliputi khilafah dan 'imaarah, dan tidak mungkin akan terwujud khilafah kecuali dengan adanya ibadah dan 'imaarah. 
 
KESIMPULAN
            Al Qur'an menjelaskan bahwa Allah SWT telah menciptakan langit dan bumi, menghidupkan dan mematikan dan telah menjadikan apa yang ada di atas bumi ini sebagai hiasan. Itu semua untuk suatu tujuan yang jelas sebagaimana telah ditentukan oleh Allah dalam firman-Nya:
"Supaya Dia menguji kamu, siapakah di antara kamu yang paling baik amalnya." (Al Mulk: 2)
"Supaya Kami menguji mereka, siapa di antara mereka yang paling banyak amalnya." (Al Kahfi: 7)
            Artinya bahwa Allah SWT tidak menginginkan amal yang sembarang amal, tidak pula sekedar amal yang baik, tetapi menginginkan dari mereka amal yang paling baik. Maka perlombaan di antara mereka bukan antara amal yang buruk dan baik, tetapi antara amal yang baik dan yang paling baik. Tidak heran jika kita dapatkan dari ungkapan ayat-ayat Al Qur'an yang menyenangkan, yaitu kata-kata "Allatii hiya ahsan." Seperti misalnya, bahwa hendaknya seorang Muslim berdebat dengan cara yang lebih baik (An Nahl: 125), menolak dengan cara yang lebih baik (Al Mukminun: 96), dan menginvestasikan harta anak yatim dengan cara yang paling baik (Al Isra': 34), serta mengikuti sebaik-baik apa yang diturunkan kepadanya dari Rabbnya, "Dan ikutilah sebaik-baik apa yang telah diturunkan kepadamu dari Tuhanmu ..." (Az-Zumar: 55).
            Allah memberi orang-orang yang beramal kecukupan yang besar di dunia dan akhirat. Allah menguatkan dan menolong mereka di dunia, mengikat hati mereka, menyinari jalan mereka, dan menghalau godaan setan. Allah berfirman,
Hai orang-orang yang beriman, jika kamu menolong agama Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu.” (QS. Muhammad: 7)
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman,
“Dan barangsiapa yang beramal shaleh maka untuk mereka sendirilah mereka menyiapkan tempat yang menyenangkan” (QS. ar-Rum: 44)
            Orang yang beramal adalah orang yang menentukan jalannya sejarah untuk mencatat riwayat hidup dan peninggalan-peninggalannya. Bagi orang-orang yang beramal; mereka saling berkompetisi dalam mencapai puncak kemuliaan, yaitu keridhaan Allah SWT.
 
Maroji’ :
Wibowo, Annas. 2010. Urgensi Amal dan Mengakhiri Ketidakberdayaan. Diakses dari insidewinme.blogspot.com
 

PRIORITAS DALAM BERAMAL


TUJUAN :

1.      Memiliki dasar dalam mengambil sebuah pilihan
2.      Mampu mendahulukan hal yang lebih penting dan lebih besar manfaatnya
3.      Menjadi muslim yang efektif dan efisien

PENDAHULUAN
            Amal merupakan buah dari pengetahuan yang kita pahami, dalam beramal tentunya kita akan menghadapi beberapa pilihan yang harus didahulukan satu daripada lainnya. Prioritas dalam beramal memiliki maksud meletakkan segala sesuatu pada peringkatnya dengan adil, dari segi hukum, nilai, dan pelaksanaannya. Pekerjaan yang didahulukan harus berdasarkan penilaian syari'ah yang shahih, yang  diberi  petunjuk  oleh  cahaya wahyu, dan diterangi oleh akal.
            Sehingga sesuatu yang tidak penting,  tidak  didahulukan  atas sesuatu  yang  penting. Sesuatu yang penting tidak didahulukan atas sesuatu yang  lebih  penting.  Sesuatu  yang  tidak  kuat (marjuh) tidak didahulukan atas sesuatu yang kuat (rajih). Dan sesuatu "yang biasa-biasa" saja tidak didahulukan atas sesuatu yang utama, atau yang paling utama.
Sebagaimana difirmankan oleh Allah SWT:
"Dan Allah SWT telah meninggikan langit dan Dia meletakkan neraca (keadilan). Supaya kamu jangan melampaui batas tentang neraca itu. Dan tegakkanlah timbangan itu dengan adil dan janganlah kamu mengurangi neraca itu." (Ar-Rahman:7-9)
            Dasarnya ialah bahwa sesungguhnya nilai,  hukum,  pelaksanaan,  dan  pemberian  beban  kewajiban menurut pandangan agama ialah berbeda-beda satu dengan lainnya. Semuanya tidak  berada  pada satu tingkat. Ada yang besar dan ada pula yang kecil; ada yang pokok dan ada pula yang cabang; ada yang berbentuk  rukun  dan ada  pula  yang  hanya  sekadar  pelengkap; ada persoalan yang menduduki tempat utama (esensi) tetapi  ada  pula  yang  hanya merupakan  persoalan  pinggiran;  ada yang tinggi dan ada yang rendah; serta ada yang utama dan ada pula yang tidak utama.

PEMBAHASAN
Penyimpangan Umat Islam Dewasa Ini dalam Menempatkan Prioritasnya 
               Penyimpangan terhadap masalah ini tidak hanya terjadi di kalangan  awam kaum Muslimin, atau orang-orang yang menyimpang dari jalan yang lurus di kalangan mereka, tetapi  penyimpangan itu  juga  dilakukan oleh orang-orang yang menisbatkan dirinya kepada agama ini, karena tidak adanya fiqh dan  pengetahuan yang benar. Sesungguhnya ilmu pengetahuanlah yang menjelaskan  mana perbuatan yang diterima dan mana perbuatan yang ditolak;  mana perbuatan yang diutamakan dan mana pula yang tidak diutamakan. Setiap perbuatan  disebutkan  "harga"  dan nilainya, menurut pandangan agama. 
               Penyimpangan kaum muslimin dalam menempatkan prioritasnya terdapat pada hal berikut ini :
 1) Mereka tidak mengindahkan fardhu kifayah yang berkaitan dengan umat secara menyeluruh. Seperti peningkatan kualitas ilmu pengetahuan, perindustrian yang dapat menjadikan umat betul-betul mandiri; ijtihad dalam masalah fiqh dan penyimpulan hukum serta penyebaran da'wah Islam. Umat Islam masih lebih tertarik kepada pembangunan fisik dan urusan golongan mereka sendiri.
2) Mereka juga mengabaikan sebagian fardhu 'ain, atau melaksanakannya tetapi tidak sempurna. Seperti melaksanakan kewajiban amar ma'ruf dan nahi mungkar, di mana Islam menyebutnya terlebih dahulu sebelum menyebut persoalan shalat dan zakat ketika ia menjelaskan sifat-sifat masyarakat yang beriman. Allah SWT berfirman:
"Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma'ruf, dan mencegah kemungkaran, mendirikan shalat, menunaikan zakat, ..." (At-Taubah: 71).
Mereka cenderung tidak peduli kepada lingkungannya, enggan untuk mengingatkan saudaranya yang melakukan maksiat dengan alasan takut mencampuri pribadi orang dan lain sebagainya.
3) Perhatian mereka kepada sebagian rukun Islam lebih banyak dibanding perhatian mereka kepada sebagian rukun yang lain. 
             Ada di antara mereka yang memperhatikan puasa lebih banyak daripada perhatian terhadap shalat. Oleh karena itu, kita hampir tidak menemukan orang Muslim lelaki dan perempuan yang makan di siang hari Ramadhan. Akan tetapi ternyata masih banyak kaum Muslimin yang malas melakukan shalat. Kemudian kita lihat setiap tahun ribuan Muslimin berkali kali menunaikan ibadah haji, padahal Allah hanya mewajibkannya sekali seumur hidup, jika hanya untuk mencari pahala sunnah tentu akan lebih baik jika dana yang dimiliki kaum Muslimin tersebut digunakan untuk membantu orang miskin atau untuk memerangi orang-orang Yahudi di Palestina; membantu kaum Muslimin di Serbia, Bosnia, Herzegovina; atau untuk menghadapi  gerakan  Kristenisasi di Bangladesh,  atau negara-negara  Afrika dan negara-negara Asia Tenggara lainnya; atau untuk membangun pusat-pusat  Islam  atau  mencetak  kader da'wah yang  memiliki   spesialisasi di berbagai bidang kehidupan; atau untuk mencetak, menerjemahkan, dan menerbitkan buku-buku Islam yang sangat  bermanfaat, mereka belum mau peduli karena hasil yang diperoleh tidaklah tampak secara kasat mata.
4) Mereka memperhatikan sebagian perbuatan sunnah lebih daripada perhatian mereka terhadap perbuatan yang fardhu dan wajib. Kaum muslimin banyak yang memperbanyak zikir, tasbih, dan wirid, tetapi mereka melupakan fardhu yang diwajibkan atas mereka; yaitu perbuatan fardhu yang bersifat sosial; seperti: memperlakukan kedua orangtua dengan baik, silaturahim, bertetangga dengan baik, mengasihi orang-orang yang lemah, memelihara anak yatim dan orang-orang miskin, menyingkirkan kemungkaran, dan menyingkirkan kezaliman sosial dan politik.
5) Mereka memiliki kecenderungan yang lebih besar untuk memperdulikan ibadah-ibadah individual, seperti shalat dan zikir, dibanding perhatian yang diberikan kepada ibadah-ibadah sosial yang besar sekali faedahnya, seperti jihad, fiqh, memperbaiki jalinan silaturahim di antara manusia, menganjurkan kepada keadilan dan musyawarah, memelihara hak-hak asasi manusia, khususnya memberikan perlindungan kepada orang-orang yang lemah.
6) Kebanyakan diantara mereka memiliki kecenderungan untuk mempedulikan masalah furu'iyah (cabang) dan mengabaikan masalah-masalah pokok (ushul). Padahal para ulama jaman dahulu mengatakan, "Barangsiapa mengabaikan pokok, maka dia tidak akan pernah sampai kepada tujuannya." Mereka melalaikan fondasi bangunan secara keseluruhan, yakni aqidah, iman, tauhid, dan keikhlasan dalam membela agama Allah. Banyak sekali kita temui golongan umat yang tidak mau sholat di masjid yang sama hanya karena ada beberapa sunnah sholat yang berbeda.
7) Terakhir kesibukan kebanyakan manusia dalam memerangi hal-hal yang makruh dan syubhat lebih banyak dibandingkan dengan kesibukan mereka memerangi hal-hal yang diharamkan dan telah menyebar luas di kalangan mereka atau mengembalikan kewajiban yang telah hilang. Contohnya ialah kesibukan mereka tentang perkara yang masih diperselisihkan halal dan haramnya dan tidak memperhatikan hal-hal yang telah dipastikan haramnya. Ada orang yang senang sekali memperhatikan masalah-masalah khilafiyah ini, seperti masalah mengambil gambar, dan bernyanyi. 
 
KESIMPULAN        
Sebagai dasar kita dalam beramal, ada beberapa hal yang dapat kita jadikan sebagai acuan antara lain :
1.      Prioritas ilmu atas amal. 
Diantara pemberian prioritas yang dibenarkan oleh agama ialah prioritas  ilmu  atas  amal.  Ilmu  itu harus didahulukan atas amal, karena ilmu merupakan petunjuk  dan  pemberi  arah  amal yang  akan  dilakukan.  Dalam hadits Mu'adz disebutkan, "ilmu, itu pemimpin, dan amal adalah pengikutnya."
2.      Prioritas hal yang mudah daripada hal yang sulit. 
          Hal ini terkait keringanan yang Allah berikan pada waktu – waktu tertentu misalnya puasa ataupun sholat saat safar, orang awam akan memandang bahwa Islam tidaklah kaku, fleksibel, hal itu juga terkait dengan permasalahan umat lainnya. Nabi saw bersabda,   "Sesungguhnya Allah menyukai bila keringanan yang diberikan oleh-Nya dilaksanakan, sebagaimana Dia   membenci kemaksiatan kepada-Nya."(HR. Ahmad, Ibnu Hibban dan Baihaqi).
3.      Prioritas pada amal yang lebih luas manfaatnya.
        Diantara prioritas yang sebaiknya diterapkan dalam  pekerjaan manusia   ialah   prioritas  terhadap  perbuatan  yang  banyak mendatangkan manfaat kepada orang lain. Sebesar  manfaat  yang dirasakan  oleh  orang  lain,  sebesar  itu pula keutamaan dan pahalanya di sisi Allah SWT. Oleh sebab itu,  jenis  perbuatan jihad  adalah lebih afdal daripada ibadah haji, karena manfaat
ibadah haji hanya dirasakan pelakunya, sedangkan manfaat jihad dirasakan  oleh  umat.  Sehubungan  dengan  hal ini, Allah SWT berfirman:
"Apakah (orang-orang) yang memberi minuman kepada orang-orang yang mengerjakan haji dan mengurus masjid al-Haram, kamu samakan dengan orang-orang yang beriman  kepada Allah dan hari kemudian serta berjihad di jalan  Allah? Mereka tidak sama di sisi Allah, dan Allah tidak memberikan petunjuk; kepada kaum yang zalim. Orang-orang  yang beriman dan berhijrah serta berjihad di jalan Allah  dengan harta benda dan diri mereka, adalah lebih tinggi  derajatnya di sisi Allah; dan itulah orang-orang yang mendapat kemenangan." (at-Taubah: 19-20)
4.      Prioritas pada perkara pokok daripada perkara cabang. Yaitu mendahulukan  perkara-perkara  pokok, mendahulukan  hal-hal  yang  berkaitan  dengan iman dan tauhid kepada  Allah,  iman  kepada  para  malaikatNya,   kitab-kitab suci-Nya,  rasul-rasul-Nya,  dan  hari  akhir;  yang dikatakan sebagai rukun iman sebagaimana dijelaskan oleh al-Qur'an: 
“Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebaktian, akan tetapi sesungguhnya kebaktian itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian,  malaikat-malaikat, kitab-kitab dan nabi-nabi..."(al-Baqarah:177) Maka dari itu kita harus lebih sering mencari persamaan antara kita dengan saudara kita lainnya dan selalu mengutamakan persatuan.
5.      Prioritas perbaikan diri sebelum perbaikan lingkungan (sistem) lewat pembinaan (tarbiyah) yang bertahap.
          Jika dihubungkan dengan poin – poin sebelumnya, tentunya pemahaman lebih lanjut terkait prioritas amalan haruslah disertai dengan ilmu, salah satu cara yang dapat ditempuh yaitu dengan pembinaan. Pembinaan dapat dilakukan lewat mentoring ataupun forum kajian Islam lainnya. Pembinaan mensyaratkan kontinuitas); di  mana  pelakunya terus-menerus  melakukannya  dengan  penuh  disiplin. Sehubungan  dengan  hal  ini  dikatakan  dalam  sebuah  hadits shahih: "Amalan yang paling dicintai Allah adalah amalan yang  paling langgeng walaupun sedikit."(Muttafaqun ’alaihi). Di samping itu kita harus senantiasa menciptakan lingkungan yang kondusif untuk diri kita dengan cara berkumpul bersama orang- orang yang baik dan paham akan Islam tentunya.

Maroji’ :
Al Qardhawy, Yusuf, Dr. 1996. Fiqh Prioritas. Jakarta : Robbani Press

Tidak ada komentar:

Posting Komentar